<$BlogRSDUrl$>

Friday, March 19, 2004

MULAI DARI PRESIDEN SAMPAI PENGAMEN 


[HIDUP]

MULAI DARI PRESIDEN SAMPAI PENGAMEN


"Kami semua mengucapkan selamat jalan Kami semua mohon doa restu Agar dapat mewujudkan apa yang menjadi cita-citamu Selamat jalan, Romo ... "

"APA yang sesungguhnya terjadi dalam tidur? Kita mengantuk dan tahu-tahu kita sudah... hilang, ya seperti meninggalkan kehidupan. Kita tak kuasa lagi atas kesadaran kita dan segala kemauan seolah-olah hanyut dalam bengawan kegelapan yang melarutkan waktu. Waktu sudah tidak -ada lagi di ujung kendali jam; dan di mana atau bagaimana semua berlalu sudah lepas dari segala akal budi. Tidur nyenyak yang sangat dalam sampai impian sekali pun tidak timbul bahkan melarutkan segala perasaan llaku ada". Seolah-olah kita kembali lagi dalam keadaan dulu di rahim ibu, tanpa tahu tanpa sadar rasa "saya hidup"...

Nukilan ini diambil dari karya Romo Yusuf Bilyarta Mangunwijaya Pr, berjudul 'Ragawidya, Religiositas Hal-hal Sehari hari', terbit pertama tahun 1986. Hari Rabu, tanggal 10 Februari 1999, pukul 13.55 WIB, Romo Mangun, panggilan sehari-harinya, tidak sedang mengantuk. Juga tidak seperti meninggalkan kehidupan. Kemauannya juga tidak seolah olah hanyut dalam bengawan kegelapan. la juga tidak seolah-olah kembali ke dalam rahim ibu. Tetapi, ia tiba-tiba mendapat serangan jantung yang sudah beberapa lama dideritanya. Tubuhnya yang sudah dimakan usia tua itu pun rubuh dalam pelukan Mohamad Sobary, sahabatnya.

Kendati "Pak Kiainya" itu segera memberi bantuan pernapasan, namun pertolongan itu sepertinya tak diperlukan lagi. Waktunya telah tiba. Jiwanya telah melayang-layang sekitar pukul 13.55 WIB, Rabu (10/2). Menurut iman Katolik, ia disambut para malaikat surgawi (Romo Mangun sudah berbuat begitu banyak kebajikan selama hidupnya). Seperti kisah Simeon dalam Alkitab disebut setelah melihat Yesus, rohnya memuji Allah, katanya,: "Sekarang, Tuhan, biarkanlah hamba-Mu ini pergi dalam damai sejatera, sesuai dengan firman-Mu, sebab mataku telah melihat keselamatan yang dari pada-Mu, yang telah Engkau sediakan di hadapan segala bangsa, yaitu terang yang menjadi pernyataan bagi bangsa-bangsa lain dan menjadi kemuliaan bagi umat-Mu, Israel."

Sobary tak kuasa menahan kesedihan mendalam atas kepergian sahabat yang ia cintai itu. la meneteskan air mata ketika mengisahkan bagaimana saat-saat terakhir Romo Mangun menjelang menghembuskan napas terakhir. "Ini dia kiaiku," bisik Romo Mangun dalam bahasa Jawa halus kepada Sobary sebagai mana diceritakannya kepada Raymond Toruan, Pemimpin Umum HIDUP beberapa saat setelah kejadian.

Romo Mangun tidur nyenyak untuk selamanya setelah menyampaikan butir-butir pikirannya tentang masa depan bangsa ini dalam simposium "Meningkatkan Peran Buku dalam Upaya Membentuk Masyarakat Indonesia Baru," di Ruang Puri Hotel Le Meridien, Jl. Sudirman Jakarta (Baca: Menit-menit Terakhir Romo Mangun).


"Meninggalnya Romo Mangun indah sekali," kata Dr. Sonny Keraf. Mengapa? "Salah satu cita-citanya, meninggal dalam karya," ujar Sony yang berada di tempat kejadian. Di samping itu, lanjutnya, Romo Mangun berada di 'dekat' beberapa temannya seperti Mochtar Lubis, Toety Heraty Noerhadi, Ignas Kleden, dsb. "Dan yang lebih membuat dia bahagia, saya kira, bahwa ia meninggal setelah beberapa saat berbicara mengenai buku dan masa depan bangsa. Dua hal yang sepanjang hidupnya menjadi bagian dari perjuangannya, " tutur Sonny.

Bukan hanya Sobary dkk. yang berduka. Kabar meninggalnya Romo Mangun hari itu juga menghentak jutaan orang dari segala lapisan dan golongan di negeri ini, terutama di Yogyakarta, tempat tinggal dan berjuangnya. Orang-orang segera berduyun-duyun melayat baik ke RS Carolus maupun ke Katedral Jakarta hari Rabu Sore hingga Kamis menjelang tengah hari. Sementara masyarakat Yogyakarta harus bersabar menunggu datangnya jenazah Romo Mangun hari Kamis siang.

Presiden B.J. Habibie dan Ny. Ainun Habibie malam itu pun datang melayat sahabatnya ketika sama-sama studi di Jerman puluhan tahun lalu. Bahkan berkali-kali ajudan Presiden menelepon keluarga kapan bisa datang ke Katedral Jakarta setelah mendengar kepergian Romo Mangun (baca.. Ia Tidak Tahan Melihat Penderitaan Orang). "Selamat Jalan, Romo," kata Presiden Habibie di depan peti jenazah Romo Mangun yang dibaringkan di depan altar gereja ini hingga menjelang tengah hari Kamis (11/2). "Beliau adalah kawan sejati. Saya tahu beliau adalah orang yang baik dan selalu mempunyai itikad yang dalam keadaan apa pun membantu orang. Oleh karena itu, saya atas nama keluarga mengucapkan belasungkawa dan duka cita, khususnya kepada keluarga yang ditinggalkannya agar diberi kekuatan. Kita akan melanjutkan perjuangannya," kata Habibie dalam pidato singkat nya didampingi Julius Kardinal Darmaatmadja SJ dan Romo Wisnumurti SJ (Kepala Paroki Katedral).

Rasanya terlalu cepat

Kardinal Dannaatmadja mencoba membaca apa yang tersirat di wajah umat dan masyarakat yang merasa sangat pilu atas kepergian orang yang jauh di mata tapi dekat di hati itu. Kardinal, dalam bagian akhir khotbahnya pada Misa arwah yang dimulai pukul 09.00, hari Kamis (11/2), mengatakan, "Romo Mangun, selamat jalan kami ucapkan. Rasanya terlalu cepat Romo meninggalkan kami. Bukan karena Romo meninggalkan kami pada usia muda, karena Romo sudah mencapai umur 69. Bukan pula karena Romo wafat pada saat masih berkarya. Tetapi terlebih karena kami dalam situasi seperti sekarang ini masih sangat membutuhkan kehadiran Romo, dan tak rela rasanya bahwa Allah telah memanggil Romo pulang kehadirat-Nya. Namun kehendak Allah tetap kami muliakan dan kami sekarang menghantar Romo dalam perjalanan menghadap Bapa di surga. "

Kendati semasa hidupnya tidak pernah menetap di Jakarta, pastor praja yang wajahnya, menurut Arief Budiman, mirip Kolonel Sanders, pemilik usaha Kentucky Fried Chicken ini cukup dikenal melalui publikasi dirinya, karyanya, terutama keberpihakannya kepada orang kecil. Kebanyakan orang yang melayat ke Katedral mengaku tak pernah bersua langsung dengan Romo Mangun. Kalaupun pernah hanya sekali waktu. Dalam seminar, misalnya, Roy Marten, aktor kondang, berusaha datang untuk melihat Romo Mangun terakhir kalinya. "Secara pribadi saya tidak mengenal Romo Mangun. Tapi lewat tulisan-tulisannya saya mengenal dia. Dia itu idola saya. Saya sangat suka dengan jalan pikirannya. Dia seorang yang mau mengorbankan dirinya untuk orang lain. Kerelaan dan ketulusan dia berikan kepada semua orang, tidak hanya orang Katolik, tapi semua masyarakat tanpa membedakan agama atau status orang. Kalau pemimpin-pemimpin agama seperti Romo Mangun, saya kira kita tidak perlu perang dan bakar-bakaran. Dia seorang yang cinta damai, pikiran-pikirannya sangat cerdas." Roy yang sedang kurang sehat datang bersama istrinya.

Putu Wijaya, dramawan dan novelis, bertutur pula. "Beliau adalah seorang yang sangat dekat dengan rakyat. Selalu berpihak kepada yang tertindas. Salah satunya, kepeduliannya untuk warga Kali Code, Kedung Ombo. Perhatiannya seialu kepada rakyat sederhana, yang miskin, yang disingkirkan. Dan, dalam karya-karyanya sebagai pejuang bangsa, beliau menyuarakan betul hati nuraninya. " Lalu, Suhana Natawilaya SH berujar, "Romo Mangun itu pejuang moral yang kokoh. Dalam pengadilan Romo Sandyawan sebagai saksi ahli, dia mengatakan, kalau memang pemerintah tidak mau menerima tindakan Romo Sandy sebagai tindakan moral, satu-satunya cara, ya Romo Sandy memang harus dihukum. Kata-kata itu sungguh-sungguh mengagetkan sekaligus menjadi pegangan bagi saya," ujar pengacara Tim Pembela Hukum dan Keadilan Indonesia ini didampingi istri dan anak-anaknya.

Sementara itu, dengan sedikit "melebihkan", Adi Kurdi, aktor dan Ketua FMKI Bogor, berujar, "Saya kira tidak ada yang bisa menyamai Romo Mangun meski kita semua dikumpulkan, tetap belum bisa menandingi kebesaran, kesucian, dan keberpihakan Romo Mangun." Adi datang bersama istri dan anak menjelang tengah malam hari Rabu. "Dia orang besar yang tak bisa saya lupakan," ujar Dr. Karlina Leksono di tengah kesibukannya mengurus pemberangkatan jenazah ke Yogyakarta. Senada dengan hal ini, Dr. Nafsiah Mboi bertutur, Romo Mangun itu orang besar. "Dia tokoh nasional dan internasional. Bahkan dia pernah menjadi calon penerima penghargaan Magsaysay dari Filipina. Salah satu yang mendapat perhatian Romo Mangun adalah anak-anak jalanan yang membutuhkan perlindungan khusus."

Sejumlah nama yang ikut antrean panjang, antara lain: H.J. Princen (menggunakan kursi roda), Mochtar Buchori, Adnan Buyung Nasutian, Rosihan Anwar, Apong Harlina, Des Alwi, Jajang Pamuntjak, Fikri Jufri, Eros Djarot, Tini Hadad, Muchtar Pakpahan, Rahman Tolleng, Hariman Siregar, Sita Ari Purnami, Pendeta Gilbert, Mayling Oei, Butet Kartaraharja, pejabat dan mantan pejabat tinggi negara, dan puluhan ribu umat Katolik KAJ dan warga masyarakat. Beragamnya para pelayat ini menunjukkan betapa luasnya pergaulan Romo Mangun.

Menjelang tengah hari Kamis jenazah Romo Mangun dilepas Kardinal Darmaatmadja SJ dari Katedral bersama para pelayat yang secara spontan membuat pagar betis hingga beberapa meter ke jalan raya. Kemudian je nazah dibawa ke Bandara Halim Perdana Kusumah dan langsung diterbangkan dengan pesawat Hercules menuju Yogyakarta, pukul 12.30. Ikut dalam rombongan sejumlah anggota keluarga dan kerabat dekat yang begitu mendengar kabar Romo Mangun meninggal, segera menuju Jakarta.

Di Bandara Adi Soetjipto, jenazah diterima oleh Mgr. J. Hadiwikarta, Uskup Surabaya, dan Vikep Yogyakarta, Pastor Jayasewaya Pr. Dari bandara jenazah Romo Mangun dibawa ke RS Panti Rapih untuk diperiksa. Dari sana, dilanjutkan ke Gereja Santo Fransiskus Xaverius, Kidul Loji. Di sini jenazah disemayamkan hingga menjelang pemakaman hari Jumat (12/2). Gereja ini merupakan gereja terbesar dan terluas halamannya di Yogyakarta. Seluruh gedung, halaman, aula, bahkan di luar lokasi (di taman kota) dipenuhi manusia. Melebar hingga radius 500 meter dari lokasi gereja, orang orang menunggu iring-iringan. Pemandangan serupa juga terjadi di Kentungan, tempat peristirahatan terakhir pejuang kemanusiaan ini. Masyarakat yang memberikan penghormatan terakhir di gereja, sejak kedatangan di Yogyakarta, baru agak mereda menjelang tengah malam. Tak ketinggalan Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Kanjeng Gusti Ratu Hemas.

Pengamen tidak bekerja

Hari Jumat diselenggarakan Misa Arwah yang dipimpin Mgr. I. Suharyo Pr (Uskup Agung Semarang). Misa dimulai pukul 09.00 - 10.30. Dihadiri sekitar tiga puluh ribu orang. Khotbah dibawakan Vikjen KAS, P. J. Pujasumarto Pr. Usai Misa, Mgr. Suharyo melepas jenazah Romo Mangun untuk diberangkatkan menuju pemakaman para imam praja di kompleks Seminari Tinggi Kentungan. Saat jenazah akan diberangkatkan, satuan petugas (satgas) dari PKB, PAN, PDI Perjuangan telah menyiapkan diri di depan peti. Mereka memimpin iring-iringan hingga ke Kentungan bersama barisan motor besar dan para pemuda Yogyakarta. Dalam iring-iringan, tampak para petani dari Magelang, rombongan warga Kedung Ombo, anak-anak SD Mangunan, dan ribuan masyarakat lainnya. Rute perjalanan sengaja dipilih tempat-tempat yang pernah menjadi ajang perjuangan Romo Mangun, antara lain pinggir Kali Code dan Gereja Jetis. Di dua lokasi ini, ribuan massa mengelu-elukan Romo Mangun dengan melambaikan tangan. Pada hari Jumat ini, seluruh pengamen jalanan Yogyakarta memutuskan untuk tidak bekerja (mengamen) sebagai tanda turut berduka cita dan menghormati kepergian sahabat mereka itu.

Di tempat pemakaman, jenazah dihantar dengan ibadah pemakaman yang dipimpin oleh Rektor Seminari Tinggi Kentungan, Mgr. V. Kartosiswoyo Pr. Untuk menghantar kepergian Romo Mangun, Kusminingsih, siswi kelas V SD Mangunan, di Gereja Kidul Loji membacakan sebuah puisi karya Puji Rahayu, gurunya, berjudul, "Selamat Jalan Romo Mangun " Romo Mangun yang tercinta, terima kasih atas jasamu, kami semua mengucapkan selamat jalan, kami semua mohon doa restu, agar dapat mewujudkan apa yang menjadi cita-citamu, selamatjalan Romo... Kami tetap ingat dan mencintaimu.

***

F. Sihol Siagian
Laporan Tim HIDUP di Jakarta dan Yogyakarta
Sent by: Raden Mas Soerjadi Soemodiwirio (sampeyan@hotmail.com)


MENIT-MENIT TERAKHIR ROMO MANGUN 


[HIDUP]

MENIT-MENIT TERAKHIR ROMO MANGUN


ROMO MANGUN secara tak terduga meninggal dunia karena serangan jantung di Ruang Puri, Hotel Le Meridien Jl. Jendral Sudirman, Jakarta Pusat, Rabu (10/2),siang sekitar pukul 13.55 WIB. Romo projo Keuskupan Agung Semarang (KAS) meninggal hanya beberapa detik setelah penulis novel Burung-burung Manyar ini dengan nada canda menyapa temannya, Mohammad Sobary. Bersama puluhan peserta lainnya, mereka berdua hendak meninggalkan Ruang Puri, untuk menyusul peserta seminar lainnya di ruangan lain untuk makan siang usai mengikuti sesi pertama simposium. Sebelumnya, Romo Mangun dengan semangat - kadang-kadang kocak - membawakan makalahnya tentang "Peranan Buku dalam Penguasaan Iptek". Seorang peserta simposium sempat mengajukan sejumlah pertanyaan kepada Romo Mangun yang dijawabnya dengan tangkas.

Begitu acara tanya jawab itu berakhir, Romo Mangun segera beranjak dari mimbar menuju kursinya di barisan belakang. Namun urung, karena langsung "dicegat" Jennifer Lindsay dari Ford Foundation untuk sedikit ngobrol tak jauh dari mimbar. Tampak di situ selain Jennifer, juga Mochtar Lubis.

Tak berapa lama kemudian - ketika mayoritas peserta telah meninggalkan Ruang Puri untuk makan siang di ruangan lain - Romo Mangun segera menghampiri Sobary di barisan belakang sembari melambaikan tangannya. "Bagaimana kabarnya, Kang," sapa Romo Mangun sembari "menjatuhkan" tubuhnya ke pundak Sobary. Di luar dugaan, daya tahan tubuh Mangun tiba-tiba "hilang", hingga tubuhnya langsung jatuh ke karpet dalani posisi terlentang. Menyaksikan itu, Sobary dan F.X. Supri Harsono dari Penerbit Kanisius Yogyakarta yang berdekatan langsung memberikan pertolongan pertama.

Mulanya, mereka berdua mengira Romo pingsan karena kecapaian atau masuk angin. Penulis yang masuk ke ruangan itu segera ikut membantu. Sejumlah peserta lain yang masih tertinggal di ruangan itu tampaknya kurang ngeh menyaksikan apa yang sedang terjadi. Barangkali mereka mengira, Romo hanya jatuh pingsan. Situasi yang serba tenang itu langsung berubah menjadi sedikit gaduh, ketika Supri langsung memberitahukan kepada orang-orang yang berdiri tak jauh dari "lokasi" limbung, bahwa besar kemungkinan Romo Mangun terkena serangan jantung kambuhan. Ketika penulis datang membantu Sobary dan Supri yang tengah sibuk melonggarkan ikatan baju dan celana romo, terlihat jelas bagaimana roman muka Romo Mangun sudah mulai pucat dan sedikit biru sementara kakinya sudah dingin dan tak memberi reaksi apa pun ketika penulis memijitnya. Besar kemungkinan, pada waktu "pingsan" di karpet merah itulah, Romo tengah merenggang nyawa. Lamat-lamat terdengar dengusan nafas panjang keluar dari mulutnya ketika kami bertiga (penulis, Sobary, dan Supri) mencoba memberi pertolongan pertama.

Di tengah kesibukan itulah, penulis mencoba "mengabadikan" detik-detik tegang itu dengan jepretan kamera. Hal sama juga penulis lakukan ketika Romo Mangun menjawab tangkas sejumlah pertanyaan yang diajukan scorang ibu penanya. Tak terduga foto-foto jepretan ini merupakan "dokumen" hidup Romo Mangun kurang lebih tujuh menit sebelum meninggal. Lantas, Supri segera mencoba kontak dengan manajemen hotel. Dokter jaga hotel dan seorang paramedik datang sekitar tujuh menit kemudian dengan peralatan bantuan oksigen. Dokter perempuan dibantu seorang perawat langsung mencoba memasang alat bantuan pernafasan ke mulut Romo, sementara dokter mencoba memeriksa nadinya. Tampaknya, saat itu pula mereka "sudah tahu" kalau Romo telah wafat beberapa menit sebelumnya. Karena tak bisa berbuat banyak, "tubuh" Romo segera mereka angkat dan diletakkan di atas kereta dorong untuk segera dibawa keruang pengobatan yang terletak di basement.

"Romo sudah meninggal beberapa menit Ialu," ujar dokter itu beberapa menit kemudian kepada kami - sejumlah wartawan dan peserta seminar - yang mencoba melihat keadaan Romo. Sebelum itu, Supri dengan gugup mencoba mencari tas dengan "merk" The Jakarta Post guna bisa menemukan obat-obat pribadi Romo. Ketika tas berhasil ditemukan tak jauh dari mimbar dan akan diberikan, rupanya jiwa Romo sudah tak tertolong dan apalagi dokter dan paramedik sudah keburu datang. Di tengah kegugupan itu, Supri mencoba kontak dengan RS Jantung Harapan Kita untuk memberitahu kondisi kritis ini kepada Raymond Suwita, dokter yang sejak tahun 1994 intensif merawatnya. Dokter Raymond datang kira-kira 30 menit kemudian, ketika Romo sudah berada di ruang pengobatan dan - bila dilihat dari kronologinya - ketika ia datang, Romo sudah keburu meninggal dunia..

Belakangan baru diketahui, Dokter Raymond - ketika dihubungi via telepon genggam- tengah rapat di Depkes. "Sebenarnya, sejak tahun 1994 usai operasi by pass di Belanda, kondisi kesehatan Romo sudah mulai memburuk. Namun dengan dorongan semngat , beliau berhasil 'memperpanjang’ hidup. Jadi, tambah umur 5 tahun ini pantas disyukuri ungkap Dr. Raymond kepada kami saat mengikuti tuguran di Katedral, Rabu (10/2) malam. Suasana duka langsung menyelimuti para peserta simposium. Masing-masing dengan inisiatif sendiri mencoba menghubungi rekan-rekannya di luar Le Meridien: memberitahu Romo Mangun meninggal karena serangan jantung mendadak di hotel berbintang lima itu.

Sejumlah wartawan pun ikut melakukan hal sama: memberitahu kantornya masing-masing, Keuskupan Agung Jakarta, Keuskupan Agung Semarang dan seterusnya. Lalu sejumlah pelayat pun mulai berdatangan ke lobby hotel. Tampak Pemimpin Umum /Pemred Kompas Jacob Oetama datang, beberapa menit kemudian dan sejumlah awak teve. Satu jam kemudian, jenazah Romo Mangun dibawa ambulans ke RS St. Carolus. Setelah dimandikan, jenazah Romo Mangun dengan busana jubah lengkap warna kuning gading langsung dibawa ke ruang transit di mana ratusan pelayat sudah menunggu di luar untuk antre melayat. Tampak di situ Menpen Mohammad Yunus Yosfiah. "Romo Mangun adalah tipe manusia sosial yang tak pernah takut kepada siapa pun ketika berjuang menegakkan kebenaran," ujarnya. Jauh sebelumnya, ratusan pelayat berbagai kalangan- seniman, wartawan, pengacara. tokoh LSM, dan sejumlah warga Timtim - dengan sabar menunggu antrean beberapa jam sebelumnya di luar. Tampak misalnya Jacob Oetama sejak di Le Meridien, Ratna Sarumpaet, Hendardi, Fikri Jufri, Gunawan Mohamad, Ita F. Nadya dan Karlina Leksono dari Tim Relawan, dan puluhan biarawati, dan rohaniwan, "Romo Mangun adalah guru spiritual saya hingga saya bisa jadi seperti sekarang ini," ujar Ita di tengah kerumunan pelayat. Duduk di pojok ruangan tampak sejumlah gadis berjilbab dengan setia menunggui buku tamu. Ikut pula hadir sejumlah kawan mantan teman sekelas mendiang Romo Mangun ketika di Seminari Menengah Mertoyudan. Antara lain P.S. Swantoro - kini Wakil Presdir Kelompok Kompas-Gramedia dan Marwoto, dosen bahasa Inggris di sejumlah tempat. Menurut Swantoro yang sempat satu kelas dengan Romo Mangun di Mertoyudan kurun waktu tahun 1951-1953, mendiang Romo Mangun adalah tipe murid sangat tekun dan rajin. Sementara Marwoto, kawannya yang lain, berkomentar: Romo Mangun termasuk anak cerdas, sedikit pendiam, namun cenderung nyentrik. "Ia begitu karena memang cerdas," ujarnya.

Tepat pukul 17.34, jenazah Romo Mangun dibawa dengan ambulans ke Gereja Katedral. Kardinal Darmaatmadja SJ didampingi Pastor Wisnumurti SJ menyambut jenazah Romo Mangun di muka Katedral lalu beriringan menyemayamkan peti jenazah di muka altar. Tak berapa lama kemudian, Presiden B.J. Habibie datang melayat dan meletakkan karangan bunga di depan peti jenazah. Berikutnya, ratusan pelayat berbagai kalangan tampak mengular memberikan penghormatan terakhir.

***

Mathias Hariyadi,. wartawan Kompas dan peserta simposium
Sent by: Raden Mas Soerjadi Soemodiwirio (sampeyan@hotmail.com)


HARI TERAKHIR Y.B. MANGUNWIJAYA  


[HIDUP]

HARI TERAKHIR Y.B. MANGUNWIJAYA


DUA puluh empat jam terakhir dari hidup Romo Mangun demikian sapaan manis Y.B. Mangunwijaya telah menjadi kesaksian pribadi yang pasti tak bakal terlupakan. Entah itu sebuah keberuntungan, atau cuma kebetulan, atau malah 'berkah', saya tak tahu. Mungkin ketiga-tiganya. Ketika menjelang pukul 07.00 pagi, 9 Januari 1999, Romo Mangun tiba dariYogyakarta dan mampir sebagaimana lazimnya untuk menginap di rumah kami, Pastoran Unio di Kramat VII/10, saya kebetulan pertama kali menyambutnya.

Rumah tinggal sebagian pastor projo non-KAJ ini adalah juga tempat beliau nampaknya merasa at home bilamana saja berada di Jakarta. Rasanya kami beruntung setiap kali boleh menikmati 'kehangatan' seorang tokoh kemanusiaan multi-dimensi sekaliber Romo Mangun. Siapa tidak kenal beliau? Ketokohan Romo Mangun bahkan merambah hampir ke segala bidang pergumulan kemanusiaan, terutama oleh karena keberpihakannya pada kalangan kecil dan mereka yang tertindas. Tetapi berkali-kali dalam percakapan enteng ketika sarapan pagi, atau setelah makan malam di Unio, Romo Mangun berusaha mengelak topik ketokohannya. Maka bagi saya menjadi sangat jelas, Romo Mangun adalah juga seorang pastor projo brilian yang amat bersahaja.

Kebersahajaannya antara lain menonjol sekali dalam sapaan-sapaannya yang khas pribadi kepada setiap kami masing-masing serumah, bahkan juga dengan para pastor tamu yang kebetulan menumpang lantaran rumah kami memang semacam guest house. Selalu nampak lebih dari sekadar kehangatan bilamana ngobrol kesana-kemari dengan Romo Mangun.

Kedubes Vatikan

Tak tahunya pagi itu, lima menit menjelang pukul 09.00, saya ketemu lagi Romo Mangun di kediaman Duta Vatikan. Saya ingat, dengan senyumnya yang terkenal unik itu, Romo Mangun bilang, "Lho, kok di sini lagi?" sebagai pembuka basa-basi. Memang hari itu saya punya appointment dengan Bapak Duta Mgr. Renzo Fratini. Sambil duduk-duduk di lobby ketika Romo Mangun setengah berbisik menyampaikan bahwa Duta Vatikan membutuhkan omong-omong dengannya, saya menimpali dengan kelakar, "Romo Mangun mungkin mau diangkat jadi uskup?" Beliau lalu terbahak bahak dan mengatakan, "Oh, sekarang untuk jadi uskup cukup dengan telepon saja."

Kami berdua selain heran karena appointment kami bertemu Duta persis pada jam yang sama. Ketika tepat pukul 09.00, Mgr. Robinson Wijesinghe, Sekretaris Kedubes Vatikan, turun menemui kami di lobby, ternyata saya cukup berurusan dengan Mgr. Robinson, sementara Romo Mangun diterima Dubes Mgr. Fratini. Tentu saja setelah satu dua basa-basi welcome, Mgr. Robinson mempersilahkan kami naik ke ruang atas. Mungkin dengan 'kelihaian' plus kehangatan seorang diplomat, di tangga naik ke lantai II, sang Sekretaris Kedubes berkelakar dengan Romo Mangun, "I think you came along with the presidential guard.' Romo Mangun sambil ketawa-ketawa kecil bilang, "Oh no, I never recognize Habibie as a President, but I do love him." Lalu dengan agak serius Romo Mangun menjelaskan kepada Mgr. Robinson mengenai persahabatannya dengan Presiden Habibie, "I love Habibie, we've been friends for years, and that's much-much more important in building up our close relationship rather than the formal ones." Kami hampir tiba di pintu masuk masing-masing ketika sambil mempersilahkan Romo Mangun ke dalam ruang Duta, Mgr. Robinson masih menimpali "Ah, well, I was only joking with you!" kami bertiga lalu masih ketawa-ketawa.

Komputerku sudah kuno

Barangkali ini. lagi sebuah kebetulan lainnya, bisa juga suatu keberuntungan. Sore itu, ketika mengopi bersama, Romo Mangun ditemani Romo Rio (Pastor M.J. Riawinarta Pr), rekannya se-Keuskupan Agung Semarang yang kini Pastor kepala Paroki Delanggu, dan saya. Ternyata beliau diminta oleh Duta Vatikan antara lain untuk meng-counter informasi-informasi untuk memojokkan Romo Sandyawan SJ, yang sempat masuk ke meja Presiden. Romo Mangun saat itu, katanya menjanjikan kepada sang Dubes bahwa ia akan melakukannya.

Obrolan sore itu akhirnya mengarah soal kematian Raja Hussein dari Yordan sebelum Romo Mangun ditemani Romo Rio pamit ke Pastoran Rawamangun untuk menjumpai Romo Koko (Pastor B. Windyatmoko MSF). Romo Mangun heran, kenapa Presiden Habibie tidak menyempatkan diri hadir pada pemakarnan Raja Yordania itu. Selepas pukul delapan malam, Romo Mangun dan Romo Rio sampai kembali di rumah, karena Romo Rio akan segera pula ke Yogyakarta dengan kereta Argo malam itu juga. Ternyata Romo Mangun belum sempat makan malam. Ketika menema beliau makan malam, saya sempat mengingatkan Romo Mangun mengenai acara besok (10 Februari) di Hotel Le Meridien. Ceritanya, gara-gara beliau lupa membawa undangan untuk acara penting itu. Sesampai di Jakarta, Romo Mangun sadar bahwa undangan Yayasan Obor Indonesia untuk sebuah simposium mengenai buku ketinggalan di Yogyakarta. Beliau kini lupa di mana di Jakarta simposium itu bakal berlangsung? Tetapi dengan enteng beliau sendiri berkomentar, "Wah memang komputerku sudah kuno", lantaran kesel karena lupa. Yayasan Obor Indonesia paginya ternyata sudah bisa dikontak dan menyampaikan bahwa kegiatan itu mengambil tempat di Le Meridien, dan kesempatan Romo Mangun mengemukakan pandangannya baru pada session kedua (berarti agak siang, sehingga beliau tak perlu bergegas pagi-pagi).

Ketika 'diperingatkan' mengenai acara di Le Meridien itu, Romo Mangun spontan merogoh kantong kemejanya, dan menemukan sepotong bukti penitipan barang di Toko Buku Gramedia, Matraman. Ia ternyata lupa tas gantung wama hitam yang sudah agak dekil, pemberian The Jakarta Post yang selalu dibawa -serta ke mana-mana. "Koq, bisa lupa, Romo." Sambil menepuk dahinya, Romo Mangun bilang, "Itulah, komputerku sudah mulai kuno." Saya lalu menawar kan diri untuk cepat-cepat mengambilnya di penitipan, berhubung Toko Buku itu segera akan tutup malam itu. Tentang apa saja isinya, Romo Mangun masih sempat komentar, "Ndak ada duit koq! "

Kalau dihubung-hubungkan dengan 'firasat' menjelang ajal, mungkin kata-kata "komputerku (baca: daya ingat; dari penulis) sudah kuno" adalah tanda-tandanya. Entahlah. Tetapi memang malam itu sampai tiga kali Romo Mangun bilang, "Wah, komputerku sudah kuno! "

Sebelum menyadari ketinggalan tas di TB Gramedia itu, Romo Mangun sambil makan malam masih sempat ngobrol-ngobrol dengan Romo lgnas Semana Pr, seorang pengunjung saat itu di Unio. Ignas bercerita baru saja menonton sebuah wawancara di saluran ANTV yang menampilkan Romo Mangun menjelaskan soal-soal di sekitar kiprahnya pada Yayasah Edukasi Dasar di Yogyakarta. Romo Mangun tak bisa ingat lagi kapan persis diwawancarai, dan oleh TV mana? Sambil manggut-manggut beliau lagi-lagi mengatakan, "Wah lupa! Komputerku sudah kuno."

Tak mau orang susah

Malam itu, 'obrolan meja makan', kami jadi agak panjang, karena. Setelah pukul sembilan, Romo Mangun dan saya, juga ditemani Bapak Soejadi pengurus rumahtangga Unio, masih lagi menemani Romo Noto (Pastor M.J. Notoseputro MSF) makan telat sekembali dari sebuah acara di Lembaga Alkitab Indonesia (LAI). Kali ini obrolan lebih banyak mengenai kehidupan imamat. Romo Mangun bercerita kalau ia pernah mengusulkan ke Seminari Tinggi Kentungan supaya diajarkan juga bagi para calon pastor prosedur meninggalkan imamat sesuai tatacara Hukum Kanonik. Usulan itu muncul karena hemat beliau, kalau terpaksa harus mening~ galkan imamat, itu harus dilakukan dengan cara terhormat. "Jangan bikin susah orang lain," kurang lebih begitu kata Romo Mangun. "Jangan orang tua harus disusahkan, adik-adik, umat pokoknya kita jangan bikin orang susah."

Pandangan itu, "jangan bikin orang susah" barangkali merupakan cermin dari hidup, pergumulan, perjuangan, dan pemihakan pada orang keeil, serta pembelaan hakhak kemanusiaan orang yang telah diperlihatkan beliau sendiri sepanjang hayat. Saya teringat suatu ketika beberapa tahun Ialu, kembali dari operasi jantung di Negeri Belanda, Romo Mangun berkomentar mengenai 'hidup'nya sendiri, "Saya kini memang lebih sehat. Tapi kata dokter, saya bisa meninggal dunia sewaktu-waktu." Kami semua yang ikut mendengar hampir spontan menimpali, "Ah Romo, setiap orang juga bisa mati kapan saja. " Romo Mangun buru-buru menambahkan, "Ya betul memang; Tapi saya ingin tiga hal kalau meninggal; Pertama, mudah-mudahan meninggal dalam tugas; Kedua, ndak pake kesakitan lama-lama; Ketiga, jangan bikin susah orang. " Rasanya ketiga keinginan, atau permohonan, atau mungkin malah doa Romo Mangun terkabulkan di Hotel Le Meridien, Jakarta, 10 Februari 1999, selepas pukul satu tengah hari.

H. Datus Lega
Penulis, bekerja pada Konferensi Waligereja Indonesia, tinggal di Jakarta


PERGINYA SANG PUNAKAWAN 


[HIDUP]

PERGINYA SANG PUNAKAWAN
Perihnya Loro Sae


Di Timor Timur, berita tentang wafatnya Romo Mangun lebih hangat daripada "pembebasan" Xanana Gusmao dari LP Cipinang. Bahkan keluarga besar Gusmao menyatakan lebih merasakan kesedihan karena wafatnya Romo Mangun. Pembicaraan tentang Xanana nyaris terlupakan. Padahal penantian tentang nasib Xanana selama ini terasa amat mendebarkan. Tetapi di hari Kamis itu, Romo Mangun lebih menyita perhatian.

Wafatnya Romo Mangun dikenang secara khusus karena dia seorang "Amo Lulik " atau "Nai Lulik" (sebutan untuk pastor). Di hari Jumat (12 Februari), Keuskupan Dili dan Baucau mendoakannya secara khusus. Lalu diadakan perarakan tabur bunga ke makam Santa Cruz yang dipimpin Uskup Belo sendiri. Amo Lulik Mangunwijaya memang populer di mata orang Timtim. Paling tidak ada dua cerita yang hari-hari ini kami tuturkan dari hati ke hati.

Pertama, pembelaannya yang gigih terhadap nasib kami di Timtim. Ketika Orde Baru begitu perkasa mencekik kami, Romo Mangun datang lewat tulisan-tulisannya yang mencakar ke sana kemari. la membela kami dengan jatidirinya yang bening dan sejuk. Ketika banyak orang tidak mau tahu tentang konflik di Timtim, ia datang dengan segenggam penghiburan. "Masa bodoh" itu bisa dilihat ketika Dom Carlos Belo yang menerima Nobel Perdamaian 1999. Nyaris tak terdengar pujian (dari umat Katolik sekalipun). Malah atas biaya "penguasa" (kaum Herodes dan Yudas, menurut istilah Romo Mangun), umat Allah di Timtim berangkat ke Jakarta untuk mendemo Uskup Belo. Hanya Romo Mangun (dan Gus Dur) yang membelanya mati-matian. Sikap ini sangat menyejukkan hati kami. Karena itu nama Romo Mangun sama-sama "menggegerkan", atau sama "angker" (lulik) seperti Uskup Carlos, Uskup Martinho, dan Uskup Basilio.

Kedua, ketika Romo Mangun mengunjungi Baucau (Agustus 1998) atas prakarsa Forum Komunikasi Mahasiswa Putra-Putri Baucau (FKMPPB) ia bicara tentang "pendidikan kaum tertindas." Saat itu ia berbicara kepada kalangan kaum muda di GOR yang penuh sesak. Sebagaimana biasanya ia berbicara dengan nada-nada halus orang Jawa, tetapi kadar "kasar" nya mirip dengan orang Timtim yang serba bergairah meledak-ledak. Sepanjang ia berbicara pasti selalu mendapat aplaus yang panjang-panjang. Bahkan ada yang berdiri sambil bersiut-siut. Satu hal yang jelas, kaum muda di Baucau terlanjur sayang kepadanya. Mak a ketika ia wafat, dunia kaum muda di Nusa Lorosae seakan-akan gelap, dan kami kaum muda pun menangisinya. Lebih dari itu sesungguhnya Gereja Ind onesia kehilangan seorang "imam sekulir" yang sejati. Dalam tradisi kita , "imam sekulir" menjadi sebuah kelompok yang dibedakan dengan imam biarawan. Biasanya kita menyebut imam praja atau diosesan untuk menetralisir istilah sekulir" yang terkesan negatif.

Tetapi dalam pribadi Mangunwijaya, istilah imam-sekulir terasa lebih manis dan pantas. Mangunwijaya adalah imam yang mempersembahkan kepada Tuhan hasil kreativi tasnya in hoc saeculo. Ini dalam artian tugas untuk "memuliakan Tuhan dan memerdekakan manusia". "Imam" tidak hanya merupakan kuasa suci yang diterima karena tahbisan lalu secara esensial dilekatkan pada Imamat AgungYesus Kristus, melainkan juga "sekulir" yang secara fungsional melibatkan diri bagi pemerdekaan manusia sejati.

Rasanya tidak berlebihan jika dalam diri Romo Mangun berpadu dimensi "imamat" sebagai citra dirinya. Gabungan identitasnya sebagai imam sekulir ini yang membawa dirinya untuk membentuk semacam spiritualitas Punakawan. Untuk memahami hal itu saya mengutip kata-kata Romo Mangun sendiri dalam buku Sastra dan Religiositas (halaman 34-35): "Punakawan, Semar, Gareng, Petruk, Bagong, Togog, dan lain-lainnya. Sering dikatakan bahwa Punakawan itu unsur para dewata yang memimpin para Pandawa, (dan Togog selaku kekuatan-kekuatan buruk, antipoda Semar), akan tetapi in concrete ada aspek lain yang sedang berproses. Ternyata Ki Dalang, yang dalam pementasan lakon wayang berfungsi selaku "imam" yang "mewahyukan kembali" lakon kosmos makro ke dalam suatu peristiwa mikro, toh masih diberi peluang dan waktu untuk mewartakan beberapa hal yang profan, tafsiran, kejadian, kritik kepada penguasa, pengolok-olokan suatu yang tidak disukai khalayak atau pengusulan saran dari bawah ke atas dan sebagainya, melalui instrumen Punakawan. Di sini Ki Dalang selain berfungsi sebagai penghantar sesuatu yang keramat, berfungsi dobel selaku unsur rational, kreatif, inovatif dan konstruktif......

Jika kita membaca tulisan-tulisan Romo Mangun maka sifat Punakawan yang dilukiskannya terasa sangat pas untuk diterapkan pada dirinya sendiri. Romo membawa dan menafsirkan "tanda-tanda zaman" dengan memakai bingkai Punakawan. Kini salah satu figur Punakawan itu telah pergi. Tetapi apa kata sang Punakawan Mangunwijaya tentang kematiannya? Saya mengutip lagi kata-katanya sendiri" ...kematian seseorang tidak pernah sendirian sebetulnya.

Tanggung jawab pribadi yang bagaimanapun sudah diresapi warisan sikap moyangnya yang Kristen Barat. Tetapi diperkaya lagi oleh sikap Timur, bahwa segala kejadian, sampai pengalaman mati pun pada dasarnya teremban oleh suatu rangkulan maharaya alam semesta, terdukung oleh kawan dan sahabat..." (Ikan-lkan Hiu, Ido, Homa; hal. 287).

Benar Romo Mangun, kematianmu tidak pernah sepi dari rasa honnat dan kagum dari semua orang yang pernah kau sentuh dengan imamat-mu yang sekulir. Dan mungkin sedikit iri hati bahwa dikau wafat dalam tugas "menafsirkan tanda-tanda zaman" bagi negara dan bangsa yang kau cintai dengan jiwa raga. Engkau sesungguhnya bunga bangsa Indonesia yang gugur di medan juang. Minggu 7 Februari 1999, Romo Mangun masib sempat menerima telepon dari Timor Timur untuk datang di Hari Raya Paskah Kaum Muda Timor Timur di Manatotu (tanah leluhur Xanana Gusmao). Tapi biarlah Romo merayakan Paskah nanti bersama junjunganmu, Imam Agung Kristus. Requiem aeternam dona eis Domine...

***

P. Martinho G.da Silva Gusmao
Penulis, rohaniawan dan Ketua Komisi Kepemudaan Dioses Baucau, Timor-Timur.
Sent by: Raden Mas Soerjadi Soemodiwirio (sampeyan@hotmail.com)



IA TAK PULANG KE KUWERA 

[HIDUP]

IA TAK PULANG KE KUWERA

Sementara teman-temannya berdendang dengan gitar, ia berdoa rosario sambil bersila. Sementara teman-temannya berpesta, ia melayat orang berduka ...

KETIKA sedang membuka-buka kado, setelah pesta perkawinan, Zumrotin, mantan Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan suaminya, K. Susilo mendapat sebuah lukisan. Pemberinya, Romo Y.B. Mangunwijaya Pr. Saat pesta itu berlangsung, 26 tahun lalu, Romo Mangun memang tidak hadir. Tetapi, di lukisan itu ia menulis, "Pasti aku setuju atas ketidakhadirannya." Ternyata, Romo Mangun datang ke tempat orang yang sedang berduka. Dan, memang itu yang selalu menjadi pilihan hidupnya. Ia selalu memilih berada di tempat orang yang sedang berkesusahan. Pasangan Zumrotin-Susilo sangat memahami pilihan Romo Mangun itu. Mereka sama sekali tidak menyesal Romo Mangun tidak hadir pada pesta perkawinannya.

Menurut Uskup Agung Semarang, Mgr. I. Suharyo Pr, sikap Romo Mangun yang selalu berbela rasa dengan orang-orang sederhana sudah diasahnya sejak muda. la pernah menunggu Wisma Salam yang sederhana, di sebelah utara Krasak, Sleman. Ia bukan hanya bertindak sebagai manajer wisma itu. Tetapi, ia juga membersihkan kamar mandi di sana. "la mengosek WC sendiri," lanjut Mgr. Haryo. Kalau kemudian dari waktu ke waktu, karya-karya Romo Mangun semakin besar, Mgr. Haryo meyakini, itu tercipta melalui ketekunannya pada hal-hal kecil dan sederhana. "Almarhum sungguh telah mempersiapkan diri," tegas Mgr. Haryo. Rohaniawan sejati dari surat-suratnya, Mgr. Haryo melihat Romo Mangun sebagai orang yang berkaliber sangat istimewa. "Kemampuannya tidak ada yang menandingi," pujinya. Yang menyentuh, ia selalu menegaskan akan taat kepada pimpinan Gereja. "Padahal dari segi umur, saya kan adik jauh. Ia yang bisa berargumentasi hebat tetap mau taat. " Menurut Mgr Haryo, Romo Mangun merupakan sosok yang tidak mau tampil sebagai seorang ilmuwan atau pekerja sosial. Tetapi, "Pertama-tama sebagai seorang rohaniwan sejati."

Ketaatan Romo Mangun sudah nampak sejak ia masih remaja. Dalam beribadah, misalnya. Setiap Ny. Budi Hermanto - teman kosnya saat di sekolah menengah di Yogyakarta - membersihkan kamar, Romo Mangun terlihat sedang berdoa. Ketika teman-temannya bermain gitar dan bernyanyi-nyanyi, - ia malah duduk bersila, berdoa Rosario. "ora dolan, Mas?" tanyanya heran. Waktu itu, tahun 40-an, Ny. Budi sering pergi ke gereja bersama Mas Bilyarta panggilan Romo Mangun muda. Mereka berboncengan naik sepeda dari Cakradiningratan ke Gereja Kumetiran. "Mas Bilyarta tidak mau sampai terlambat ikut Misa. Karena itu ia selalu menguber-uber saya supaya cepat," kenangnya. Selepas STM, Mas Bilyarto masuk Tentara Pelajar. "Kami pernah sama-sama mengungsi ke Sleman sekitar 1 kilometer dari kota," tambahnya.

Bunga kertas

Butet Karta Rejasa punya kenangan tersendiri tentang Romo Mangun. Romo Mangun pernah menugaskannya melatih guru-guru SD Mangunan agar bisa mendongeng. Selama tiga bulan, Butet secara intensif berbagi pengalaman dengan guru guru disana. Selama itu Romo Mangun sering mendampinginya. Itu sangat mengharukan seniman asal Yogyakarta ini. "Saya merasa mendapat penghormatan," ujarnya. Saat pelatihan usai, Romo Mangun memberi putra Bagong Kusudiarjo ini kado. Bukan honorarium. Tetapi, buku trilogi Genduk Duku, Lusi Lindri, dan Roro Mendut. Salah satu artikelnya berjudul "Untuk Butet Raja Monolog". "Romo membaptis saya dengan predikat tersebut," ungkapnya. Saat ke Jakarta - untuk yang terakhir kali - Romo Mangun bersama Butet berada dalam satu gerbong. Mereka sama-sama turun di Stasiun Gambir. "Saya tidak menyangka kalau kami berpisah untuk selamanya. " Untuk para pekerja seni seperti Butet, pemikiran-pemikiran Romo Mangun sangat inspiratif. "Banyak hal yang terjadi saat ini telah diprediksikan Romo Mangun sejak lama," tambahnya.

Asisten pribadi Romo Mangun, Th. Kushardini, masih ingat betul, sebelum berangkat ke Jakarta, Romo Mangun masih sempat menyelamatkan teratai mungil di kolam depan rumahnya. Sementara itu anak-anak kos di dekatnya menyanyikan lagu anak-anak Diobok-obok. Romo Mangun pun ikut menyanyi. Ketika hendak menangkap ikan, Romo Mangun merasa kalah gesit. "Iwak kok pinter, ya," ujarnya sambil tertawa. Menurut Dini, menjelang akhir hayatnya, Romo Mangun suka sekali bercanda. Lalu, ia tertawa keras-keras. Katanya, "Aku kepingin mati pas tertawa seperti ini." Romo Mangun pernah mengatakan, hadiah ulang tahun yang paling istimewa yang pernah diterimanya adalah demo terpanjang di Jl. Gejayan, 6 Mei 1998. Peristiwa itu sangat mengesan baginya. Romo Mangun menyukai bunga. Tetapi, bukan bunga yang mahal semacam anggrek. "Romo suka bunga kertas atau alamanda yang tumbuh di pinggir jalan, " lanjut Dim.

Jeep ke surga

Menurut Romo Dr. Muji Sutrisno SJ. sejak lama Romo Mangun mengidam-idamkan Jeep Willys tahun 40-an. Karena mobil tersebut mengingatkannya saat menjadi supir Sri Sultan Hamengku Buwono IX pada masa perang. Jeep itu, laniut Romo Mudji, merupakan lambang karya - bergulat dengan alam yang keras. Sebagian imam muda ingin memberi hadiah mobil idaman itu pada ulang tahunnya ke-70. "Kami sudah menemukan jeep model itu," lanjut Romo Mudji. Ketika diberi tahu, Romo Mangun malah bingung. "Aku akan mendapat hadiah istimewa," ujarnya.

Ternyata, sebelum semua itu terlaksana, ia sudah mengendarai 'jeep' lainnya. "Kalau jeep itu simbol tugas, saya mengartikan meninggalnya Romo Mangun dalam tugas sebagai 'jeep' ke surga," tandas Romo Mudji. Menurut rencana, Penerbit Kanisius akan menerbitkan karya-karya Romo Mangun bertepatan dengan hari jadinya ke-70. Ketika mendengar rencana tersebut, Romo Mangun mengingatkan mereka agar tidak menyelenggarakan pesta besar. "Keadaan Mei nanti kan belum pasti," ujarnya.

Aksentuasi religi

Ketua Umum Yayasan Kasimo, Vincent Saka merupakan salah seorang yang secara pribadi merasa diperkaya oleh semangat Romo Mangun. la sering melihat Romo Mangun seperti Pak Kasimo. "Potongan tubuh, cara berbicara, dan sorot matanya kerap mengingatkan saya pada Pak Kasimo."

Vincent sangat mengagumi Romo Mangun. Khususnya, dalam memperjuangkan martabat manusia. Selain itu, Vincent mengagumi Romo Mangun yang mampu memberi aksentuasi pada religi. la merasa mendapat pelajaran berharga dari Romo Mangun untuk membedakan antara agama dan religi. Agama, menurut Romo Mangun, merupakan jalan menuju Tuhan. Sedangkan religi adalah hubungan manusia dengan Tuhan. "Romo Mangun selalu menekankan pada soal religi, ikatan kita dengan Tuban," lanjut Saka.

Kekaguman yang mendalam juga terungkap dari dokter pribadi Almarhum, Dr. Raymond Suwito. "la selalu mengutamakan segala-galanya untuk sesama tanpa memperhatikan kesehatannya." , Ketika ingin mendirikan Klinik Pro Aktif di Kemanggisan Jakarta Barat, Raymond dan rekan-rekannya mendapat semangat dari Romo Mangun. Klinik ini bertujuan untuk menolong mereka yang bekerja di ladang Tuhan. Sewaktu Raymond pusing memikirkan dana, Romo Mangun membesarkan hatinya. "Raymond, jangan memikirkan dana. Yan penting konsepnya baik. Nanti banyak orang akan membantu," begitu nasihat Romo Mangun.

Rasa kagum terhadap Romo Mangun juga disampaikan Arswendo Atmowiloto. "la bisa menyatukan konsep keimaman dan ke mangunan-nya," ujarnya. Arswendo mengaku cukup banyak mempunyai pengalaman pribadi bersama Rom Mangun. Yang paling mengesan adalah ketika ia masih memimpin Tabloid "Monitor". Saat itu Romo Mangun sedang mencari dana untuk anak-anak asuhnya. Romo Mangun menitipkan salah satunya kepada Arswendo. Sambil bercanda, Wendo menanyakan, "Bagaimana kalau anak ini saya menangkan dalam TTS di Monitor?" Romo Mangun langsung tidak setuju. Dari pengalaman ini Arswendo melihat kejujuran Romo Mangun.

Wartawan senior, Rosihan Anwar juga mengagumi sikap Romo Mangun yang merakyat. "Dia bukan pastor elite. Dia cepat merespons hal-hal yang aktual," tuturnya. Selain itu, Rosihan juga menilai Romo Mangun sebagai pribadi yang memiliki pandangan profetis. "Dia mampu mendahului orang lain dalam berpikir. Di saat orang belum melihat, dia sudah berani menyuarakannya. Salah satu kenangan dari Romo Mangun adalah saat Rosihan berulang tahun ke-70, 7 tahun lalu. "Kadonya berupa surat berisi doa dan sajak berjudul A Kind of Loving." Kini semuanya tentang Romo Mangun tinggal kenangan. la tak lagi pulang ke rumahnya - yang didominasi unsur kayu - di Gg. Kuwera Yogyakarta. la pulang ke rumahnya yang abadi....

***

Maria Etty Peliput Tim HIDUP di Jakarta dan Yogyakatra
Sent by: Raden Mas Soerjadi Soemodiwirio (sampeyan@hotmail.com)



ROMO MANGUNWIJAYA MENINGGAL DUNIA 

Detikcom Updated: 16:40 (10/02/99)

ROMO MANGUNWIJAYA MENINGGAL DUNIA


detikcom, Jakarta - Cuaca mendung diiringi hujan di Jakarta mengiringi meninggalnya seorang budayawan sekaligus rohaniawan Katolik, Romo YB Mangunwijaya. Romo Mangun, begitu ia akrab dipanggil meninggal dunia saat mengikuti simposium yang dilangsungkan di Hotel Le Meridien, di Jl.Sudirman, Jakarta Selatan. Romo Mangun meninggal pada Rabu (10/02/1999) pukul 14.15 WIB.


Romo Mangun meninggal diduga karena serangan jantung. Saat ini jenazah Romo Mangun disemayankan di RS St Corulus, Jakarta. Di mana Romo Mangun akan dimakamkan, masih belum diperoleh kejelasan. Hanya saja, Romo Mangun telah sempat membuat wasiat, bahwa jika ia meninggalkan jazadnya minta diserahkan kepada sebuah Universitas Kedokteran terdekat untuk kepentingan ilmu pengetahuan.


Hanya saja, sampai pukul 16.30 WIB, wasiat Romo Mangun tersebut masih belum bisa diperoleh keputusan. Uskup Semarang, Romo Suharyo ketika dikonfirmasi menyatakan, bahwa persoalan jazad Romo Mangun agar diserahkan ke sebuah Universitas Kedokteran belum bisa dilakukan. "Kami masih menunggu rapat terlebih dahulu untuk memutuskan itu semua,"katanya.


Romo Mangun yang tinggal di kawasan Gejayan, Yogyakarta, namanya memang sudah terkenal. Ia bukan saja seorang rohaniawan Katolik, tetapi juga budayawan, sastrawan sekaligus seorang arsitek. Semasa hidup Romo Mangun dikenal sangat peduli dengan kaum gelandangan. Bersama orang-orang di lapisan bawah dan gelandangan, Romo Mangun pernah membangun sebuah pemukiman artistik di pinggiran Kali Code.


Sebagai seorang sastrawan, Romo Mangun sempat melahirkan karya-karya sastra yang monumental. Novel-novel terkenalnya antara lain berjudul "Burung-Burung Manyar". Karya novelnya ini sempat memperoleh penghargaan dari Ratu Sirikit. Thailand.

RAKYAT KECIL, PILIHAN AWAL DAN AKHIR ROMO MANGUN 


HIDUP

RAKYAT KECIL, PILIHAN AWAL DAN AKHIR ROMO MANGUN


Meneladan Yesus yang membela rakyat tertindas menjadi pilihan Romo Mangun. Dari hati, tenaga, pemikiran dan perhatian hingga organ tubuhnya diserahkan demi mereka. Sejam setelah Romo Mangun meninggal, kontroversi tentang bagaimana pemakaman jasadnya muncul. Rekan-rekan dekatnya tahu, Romo Mangun ingin agar jenazahnya tidak dikuburkan melainkan disumbangkan untuk ke Fakultas Kedokteran yang terdekat. la ingin raganya dipakai untuk ilmu pengetahuan. Tentu saja, para sahabat dan masyarakat tidak tega melaksanakan keinginan terakhir Romo Mangun yang memiliki motto imamat, "Agar Nama Tuhan dan Gerejanya dimuliakan". Dan, Uskup Agung Semarang, Mgr. I. Suharyo Pr yang memimpin wilayah tempat Romo Mangun berkarya, setelah mengadakan rapat dengan para imam, akhirnya memutuskan untuk memakamkan jasadnya secara utuh. Pendapat Romo Mangun memang sering dinilai kontroversial. Hingga meninggal pun saat tidak bisa berkata apa-apa, pilihannya tetap membuat orang tercengang. Bagaimana mungkin orang mampu membayangkan tubuh seorang Romo Mangun dengan sederet predikat, dan keunggulan terlentang di meja anatomi lalu disobek-sobek pisau operasi, dipotong-potong, dan bagian dalam tubuhnya "diobok-obok".

Namun, bukan Romo Mangun kalau tidak ada landasan atau alasan mengapa memiliki keinginan itu. Dalam buku Tumbal yang merupakan kumpulan tulisan Romo Mangun dari tahun 1970-an hingga 1990-an, ia mengemukakan alasan itu. "Saya hanya ingin hidup saya berguna. Ini sesuai dengan jalan hidup saya. Biasanya yang dianatomi adalah penjahat, atau jenazah gelandangan yang tak berkeluarga. Seperti Yesus mati bersama para penjahat dan orang miskin ketika disalib, saya pun ingin ma ti dengan cara mereka, meski tidak disalib." Betapa pembelaan kepada wong cilik benar-benar tulus. Bahkan tubuhnya tak bernyawa pun hendak ia korbankan. Semua itu, sebagai wujud kecintaannya kepada Yesus, untuk pembelaan orang-orang yang disisihkan, yang tidak dianggap.

Sebuah pilihan

Pembelaan Romo Mangun kepada rakyat keeil yang terengah-engah bertahan dalam hidup mengaliri nadi tulisan-tulisan Romo Mangun. la menulis Kasus Nipah dan Rasa Keadilan begitu terdengar kabar orang orang Nipah, Madura yang membayar nyawa untuk tanah yang akan dijadikan waduk. Ketika Marsinah mendapat Anugerah Hak Azasi Manusia Yap Thiam Hien 1993, Romo Mangun pun mengucapkan rasa syukurnya dengan menulis Marsinah, Pahlawan Asasi. Dalam novel-novelnya seperti Trilogi Roro Mendut, Gendhuk Duku dan Lusi Lindri juga mengungkap penderitaan rakyat kecil. Dalam Gendhuk Duku, dilukiskan bagaimana si Gendhuk mengungsi ke sana kemari bersama suaminya, bagaimana ia berjuang melawan usaha para pejabat yang hendak memperkosa dirinya, dsb. Kalau dicermati, tulisan-tulisan Romo Mangun ini tidak mengawang-awang. la menuliskan apa yang dirasakan rakyat sehingga tulisan itu seperti bernyawa karena Romo Mangun ikut terlibat dalam pergulatan hidup mereka. Kepada merekalah pilihan hidup Romo Mangun dijatuhkan.

Demi pilihan itu, tahun 1980 Romo Mangun berhenti menjadi dosen di Jurusan Teknik Arsitektur UGM Yogyakarta, setelah mengajar selama 12 tahun. Padahal, kedudukan sebagai dosen, apalagi di perguruan tinggi tertua dan terbesar di Indonesia, menjadi incaran para sarjana-sarjana yang ingin menggolongkan diri sebagai priyayi. Tentang lengsernya dari Menara Gading perguruan tinggi Romo Mangun pernah berkata, "Bagi saya arsitektur tidak punya persoalan gawat. Saya akan menangani bidang-bidang yang jarang-jarang orang mau, seperti masalah Kali Code.. "

Tahun 1980 itu Romo Mangun memutuskan keluar dari paroki dan pindah ke pemukiman 'hitam' sepanjang Kali Code. Di sini ia membikinkan rumah untuk tetangganya yang berprofesi tukang becak, tukang semir, copet, maling, jagoan, hingga pelacur. Bangunannya sederhana dari bambu - yang bahannya mudah ditemukan di sepanjang sungai - dan kayu. Rumah bambu itu lalu dicat warna-warni sehingga kampung pinggir kali itu jadi asri dan indah. Sekitar tahun 1985, kebijakan pemerintah turun. Sepanjang sungai Code yang membelah kota Yogyakarta tepat di tengah ini, akan dijadikan green belt atau jalur hijau. Dengan kebijakan ini, konsekuensi logisnya, penduduk di sepanjang kali itu harus digusur . Romo Mangun dengan sadar memposisikan dirinya menjadi penentang kebijakan ini. Mati-matian ia meyakinkan pemerintah keuntungan adanya perkampungan di sekitar sungai. Sampai-sampai ia mengancam akan mogok makan jika proyek jalan terus. Rencana mogok makan urung bersamaan dengan batalnya proyek penggusuran. Dan, kawasan kali Code hingga sekarang masih tampak asri. Untuk karyanya ini, ia mendapat anugerah Aga Khan. Dan, selama tinggal di pinggir kali itu Romo Mangun menuliskan refleksi dan perasaannya dalam novel Burung-Burung Manyar. Novel ini mendapat penghargaan "The South East Asia Write Award", 1983. Di pinggir kali Code, Romo Mangun hanya menetap selama enam tahun.

Setelah melihat semuanya baik adanya, perhatian Romo Mangun pindah kepada penduduk Grigak sekitar 46 km arah selatan Yogyakarta. Perpindahan ini karena ia melihat penduduk Grigak mempunyai kesulitan memperoleh air bersih. Untuk beberapa tabung air bersih, seseorang tak jarang berangkat dari rumah pukul lima pagi dan pulang pukul lima sore. Selama dua tahun ia tinggal di daerah yang konon angker. Tak jarang ia mendapat pertanyaan penduduk setempat, "Romo sudah pernah dikunjungi (Nyai Roro Kidul, hantu, dsb)." Romo Mangun yang selalu disambut dengan bungah (senang hati) oleh masyarakat desa itu menjawab,"Saya juga mengharapkan, tapi kok ndak ada yang datang.”

Kedung Ombo

Karena kesehatan, dokter pribadi Romo Mangun 'memerintahkan' untuk tidak bekerja terlalu berat. Maka ia pun pindah, kembali ke Yogyakarta. la menempati lokasi di atas tanah sekitar 600 meter persegi peninggalan ibunya, di kawasan Mrican. Di kawasan ini, ia membidik pendidikan dasar sebagai sasaran perhatiannya. Namun belum sempat terfokus, Kedung Ombo geger. Pemikiran tentang pendidikan sempat terbengkalai. Dari Yogya, Romo Mangun wira-wiri ke Kedung Ombo untuk menjalankan fungsi sebagai Palang Merah.

Romo Mangun sangat memahami kesusahan dan kesulitan masyarakat petani di Kedung Ombo, ketika tanah mereka dengan paksa "diperkosa" untuk membuat waduk. Masyarakat yang nekat tinggal mempertahankan tanahnya langsung dibanjiri air. Untuk masuk ke Kedung Ombo bukan hal yang mudah. Tak jarang Romo Mangun harus menyamar sebagai petani untuk masuk ke daerah yang dijaga ketat oleh militer, atau masuk dalam bagasi mobil. Orang yang masuk kawasan waduk diperiksa KTP-nya, bahkan tak jarang langsung dicap sebagai ET (Eks Tapol). Bantuan Romo Mangun cukup berarti buat mereka. Selain obat-obatan dan makan untuk beberapa waktu, membantu menyelamatkan mereka yang nyaris hanyut karena kawasan Kedung Ombo telah dipenuhi air, ia juga memperkenalkan budaya air yang amat sangat berbeda d engan budaya tanah.

Tak sungkan Romo Mangun membikinkan rakit untuk warga, saat waduk sudah tergenang, meski rakit itu kemudian dibongkar aparat. Anak-anak tak luput dari perhatiannya. Sekitar 3.500 anak-anak yang terbengkalai pendidikannya karena sekolahnya terendam air, direngkuh. Bersama aktivis lain, ia mengajar anak-anak. Lalu, 34 warga Kedungpring mengajukan gugatan kepada pemerintah dan meminta ganti rugi atas pembuatan waduk. Gugatan itu sampai tingkat kasasi ternyata dikabulkan, tahun 1994. Begitu mendengar kabar, Romo Mangun yang saat itu terbaring di RS Elisabeth Semarang nekat pergi ke Kedungombo.

Namun kegembiraan itu tak bertahan lama, hanya kurang lebih sebulan. Karena putusan Mahkamah Agung itu kemudian dianulir alias dibatalkan. Dalam kesedihannya, menjelang keberangkatan ke Belanda untuk operasi by pass jantung, Romo berkata, "Ini menjadikan daftar luka penduduk di sana dan penderitaan rakyat makin panjang saja."

Gelandangan putri

Keprihatinan Romo Mangun kepada rakyat kecil juga tertuang dalam pendidikan anak-anak rakyat, khususnya pendidikan dasar. Bersama rekan-rekan sejiwa, Romo Mangun membentuk Dinamika Edukasi Dasar (DED) dengan SD Mangunan sebagai SD garapan, terletak di Kalasan, perbatasan wilayah Timur Yogyakarta dengan Jawa Tengah. Program ini mulai dirintis tahun 1980-an. Ada alasan mengapa ia mendirikan sekolah ini. Selain biaya sekolah yang makin mahal membuat banyak anak tak bisa sekolah, juga kurikulum SD yang hanya merupakan kehendak orang dewasa. "Pendidikan menengah dan tinggi sudah banyak yang ngurusi. Tapi SD yang bisa dibilang merupakan fondasi sistem pendidikan malah dilupakan orang," kata Romo Mangun memberi alasan. Menurut A. Supratiknya, alumnus S3 Psikologi dari University of Phillipine, yang juga Ketua DED, SD Mangunan menekankan pelajaran bahasa. "Artinya berpikir jernih dengan menggunakan bahasa, utamanya bahasa Indonesia," ungkap Supratiknya. Masih tentang anak-anak miskin, Romo Mangun belum lama berselang memiliki ke inginan untuk mendirikan sanggar pendampingan anak-anak pinggiran putri. Ia telah merintis dengan mendirikan semacam sanggar di daerah Mlati, Sleman, Yogyakarta "Kalau ada yang tahu ada anak gelandangan putri, tidak ada yang merawat, serahkan kepada saya, nanti saya didik," kata Romo Mangun. Namun, belum tuntas realisasi buah gagasan itu, Romo Mangun keburu berpulang.

Bambu dan kayu

Meski tak lagi menjadi dosen arsitektur Romo Mangun tidak meninggalkan dunia yang telah memberinya gelar insinyur. Selain bidang ini memang cita-citanya, dengan arsitektur pun masih bisa membantu rakyat kecil. Bambu dan kayu menjadi ciri khas gaya arsitektur Romo Mangun. "Iklim Indonesia itu panas dan lembab, kedua bahan ini sangat sesuai. Kedua bahan ini berkepribadian Nusantara," ungkap Romo Mangun. Beberapa bangunan gereja menjadi buah karya Romo Mangun seperti Gereja St. Albertus Magnus Jetis (Yogyakarta), Maria Assumpta Klaten, bangunan Biara Bunda Pemersatu Gedono (Salatiga), kompleks peziarahan Gua Maria Sendangsono dan rumah retret Salam (Magelang). Sedangkan d luar bangunan gereja, beberapa karyanya antara lain, gedung Bentara Budaya Jakarta, rumah kediaman Arief Budiman, kampung Kali Code, SD Mangunan dan Dinamik Edukasi Dasar di Kuwera. Itulah sosok Romo Mangun. Manusia multidimensi yang tak mungkin diceritakan dalam satu, dua, ratusan halaman kertas.

Namun, satu yang pasti, bahwa sedari awal, rakyat kecil dan miskinlah menjadi pilihan keberpihakannya. Dalam perjalanan hidupnya, segenap jiwa raga dan pikiran tertumpah untuk mereka. Dan, di saat-saat akhir hidupnya pun ia tak hendak membawa raganya. Semua untuk mereka.

***

Chatarina Puramdari
Laporan Tim HIDUP (Jakarta) dan koresponden Yogyakarta: Y.B. Risdiyanto dan Simon Sudarman.


ROMO MANGUN DIMAKAMKAN DI KENTUNGAN 


Detikcom: Rabu, 10 Februari 1999

ROMO MANGUN DIMAKAMKAN DI KENTUNGAN
Meninggal Saat Memeluk Sobari


detikcom, Jakarta - Jenazah Romo YB Mangunwijaya rencananya akan dimakamkan di Seminari Santo Paulus, Kentungan di Jl. Kaliurang Km 7 Yogyakarta. Kamis (11/02/1999) rencananya jenazah Romo Mangun akan diterbangkan ke Yogyakarta melalui Bandara Soekarno Hatta Cengkareng, Jakarta.

Menurut Sekretaris Keuskupan Jakarta, Romo Patmo Saputra, setelah dirapikan dengan memakan waktu dua jam, malam ini juga jenazah Romo Mangun akan disemayamkan di Geraja Katedral, Pasar Baru, Jakarta Pusat. Sebelumnya akan dilakukan misa requiem di gereja Katedral itu juga.

Di gereja Katedral, jenazah Romo Mangun akan disemayamkan semalam. Hal itu menurut Romo Patmo, untuk memberi kesempatan kepada rekan-rekan Romo Mangun, maupun kepada umat katolik, untuk memberi ucapan bela sungkawa maupun penghormatan terakhir. Setelah semalam disemayankan, barulah esok harinya, Kamis (11/02/1999) jenazah Romo Mangun diterbangkan ke Yogyakarta dengan pesawat Garuda Indonesia, untuk dimakamkan.

Romo Mangun meninggal secara mendadak saat mengikuti seminar peluncuran buku "Membangun Indonesia Baru" yang diselenggarakan Yayasan Obor Indonesia di Hotel Le Meridien, Jakarta, Rabu (10/02/1999). Romo Mangun meninggal karena serangan jantung.

Saat itu, seusai Romo Mangun tampil sebagai pembicara, ia lantas menghampiri Mohammad Sobari. "Inilah kiai saya," kata Romo Mangun sembari memeluk Mohammad Sobari, seorang peneliti LIPI. Saat memeluk Sobari itulah, tiba-tiba saja tubuh Romo Mangun lunglai dan jatuh melorot dari pelukan Sobari.

Sobari dan peserta simposium itupun segera memberi bantuan. Namun, rupanya jiwa Romo Mangun tak lagi bisa diselamatkan. Saat itu juga Romo Mangun meninggal dunia dan kemudian dilarikan ke RS St Corolus, Jakarta.

Romo Mangun meninggal karena serangan jantung. Romo Mangun meninggal dalam usia 70 tahun. Ia lahir di Ambarawa, Jawa Tengah, 6 Mei 1929. Beberapa bulan lagi sebenarnya beberapa rekannya, seperti Romo Muji Sutrisno dan Romo Koko, akan memberikan hadiah istimewa, berupa sebuah Jeep Wilis tahun 1940.


Jeep Wilis itu memang merupakan idaman Romo Mangun sebagai mobil kerjanya. Bahwa Romo Mangun mempunyai obsesi untuk memilik Jeep Wilis itu, menurut Romo Muji, Romo Mangun sangat terkesan dengan jeep Wilis keluaran 1940. Ceritanya, pada saat Sri Sultan Hamengkubowono IX menjadi Panglima Angkatan Perang, adalah Romo Mangun yang sempat menjadi sopirnya.


"Saat itu kendaraannya Jeep Wilis, dan bagi saya Jeep itu terkesan gagah. Saya ingin memilikinya sebagai mobil kerja," begitu kata Romo Mangun semasa hidup, yang lantas diceritakan kembali oleh Romo Muji.


Nah, rekan-rekan Romo Mangun, yakni Romo Muji dan Romo Koko lantas mencarikan Jeep Wilis itu. Modelnya memang agak berbeda. Dan ketika Jeep Wilis itu ditujukan kepada Romo Mangun, Romo Mangun tersenyum. Namun, saat Romo Mangun mengatakan, sebaiknya acara ulang tahunnya ditunda saja. Soalnya Romo Mangun mengaku belum mengetahui bagaimana keadaan negara yang situasinya tidak jelas ini.


Rupanya, ulang tahun Romo Mangun memang benar-benar tertunda. Bahkan Jeep Wilis hadiah itu kini masih berada di tempat Romo Muji pun gagal diserahkan. "Ya, sepertinya Romo Mangun menuju Sorga dengan mengendarai Jeep Wilis idamannya," tutur Romo Muji.

"In Memoriam" Romo Mangun 


Kompas: Jumat, 12 Februari 1999

"IN MEMORIAM" ROMO MANGUN

Oleh H Rosihan Anwar


SETELAH pamit dengan Romo Yusuf Bilyarta Mangunwijaya Pr yang dibaringkan dalam peti jenazah di Gereja Katedral Jakarta saya dicegat oleh Bobby, reporter majalah Katolik ”Hidup" yang bertanya bagaimana pandangan saya terhadap Romo Mangun.

Sadar harus bicara dengan teknik wawancara televisi yaitu dengan soundbites, saya jawab singkat: "Beliau seorang role-model." Maknanya, Romo Mangun adalah suri tauladan bagi banyak orang. Dalam hal apa? Dalam memperjuangkan kerakyatan (demokrasi), kedaulatan rakyat, keadilan sosial serta insaniyah (kemanusiaan).

Tatkala meninggalkan jenazah Romo Mangun, setelah menatap mukanya yang tampak bagaikan telaga damai, mengiang di telinga saya judul sebuah sajak dalam bahasa Inggris yang dikirim oleh Romo untuk mengucapkan selamat atas hari ulang tahun saya ke-70, tujuh tahun yang lampau. Sajak itu ialah A Kind of Loving.

Ditanya oleh seorang wartawan kantor berita Katolik apakah hubungan saya dengan Romo Mangun akrab dan sudah berapa lama, saya jawab aneh bin ajaib hubungan saya secara fisik dengan Romo tidak begitu amat dekat. Saya berjumpa dengan Romo hanya biasanya di seminar atau konferensi kebudayaan. Kami lalu bersalaman, saling menanyakan kesehatan masing-masing. Romo bersikap selalu ramah, saya pun menunjukkan hormat saya. Sebenarnya hubungan saya dengan Romo lebih banyak bersifat intelektual dan spiritual.

Waktu pada tahun 1980 menjadi editor buku "Mengenang Sjahrir" dan menyunting sebanyak 28 buah karangan dari dalam negeri, maupun luar negeri, perhatian saya tertarik oleh tulisan Romo Mangun berjudul: Archetype Sutan Sjahrir. Intro tulisannya langsung memikat perhatian pembaca. Ia menulis: "Sutan Sjahrir tergolong negarawan yang dalam bahasa percaturan politik disebut kalah atau gugur. Dan sering karena itu, seperti Tan Malaka, Diponegoro atau Gandhi, interesan untuk para pencari hikmah yang kritis. Lagi, apa arti kalah atau menang dalam pengertian historis? Kalah taktis dan kalah strategis tidak identik".

Romo Mangun mengatakan di dalam Sjahrir yang pada usia 36 tahun menakhodai bahtera Republik Indonesia sebagai Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri dan Dalam Negeri kita menemukan beberapa tema dasar yakni perikemanusiaan, antifasisme, kerakyatan, pemerintahan bersih, kejujuran berpolitik, kesadaran bersejarah, dan bahwa dunia Timur Lama dan Barat Lama kini sedang tenggelam dan kita menghadapi suatu fase histori manusia yang serba baru.

***

PERIODE awal Revolusi disorot oleh Romo Mangun. Pada hematnya Soekarno-Hatta-Sjahrir-Rakyat benar-benar merupakan suatu interaksi yang saling memperlengkap, tetapi dalam proses yang dialektis, dalam suasana saling mengritik, tetapi percaya pada kemampuan serta fungsi masing-masing di dalam aturan permainan yang dimufakati bersama. Ada sesuatu yang bisa kita pelajari dari periode perjuangan 1945-50. Dalam diri kita masing-masing hiduplah citra dasar (archetype) kedua tokoh Soekarno dan Sjahrir.

Archetype Soekarno yang masih berakar dalam tradisi nasional masa lampau dan yang dengan dunia internasional dan hari depan.

Di pihak lain, citra dasar Sjahrir yang sudah hidup dengan ruang waktu supranasional, universal dalam humanismenya, namun yang setia mencoba menerapkan kebaktiannya secara konkret di Tanah Air di tengah kawan sebangsa yang barangkali dalam banyak hal tidak ia cocoki, namun ia cintai dalam kesetiakawanan yang sepi ing pamrih, demikian Romo Mangun.

Membaca tulisannya waktu itu saya memperoleh kesan kuat bahwa Romo Mangun seorang pengagum Sjahrir yang dikenalnya kebanyakan dari bacaan literatur, bukan dari pergaulan fisik intens. Mengikuti tulisan-tulisannya kemudian saya tidak ragu-ragu menarik kesimpulan Romo Mangun pada hakikatnya seorang sosialis-demokrat seperti halnya dengan Sjahrir, Hatta dan Soekarno muda. Itulah sebabnya saya merasa dekat sekali dengan Romo Mangun secara intelektual dan spiritual. Atensi pribadinya luar biasa sebagaimana dapat dibaca dari cerita berikut berupa kenang-kenangan saya kepada Romo Mangun.

Pada tanggal 10 Mei 1992 saya mencapai usia 70 tahun dan memperingati peristiwa itu ketua umum PWI M Soegeng Widjaja dan ketua Panitia Peringatan Jakob Oetama menyelenggarakan peluncuran buku berjudul H Rosihan Anwar Wartawan Dengan Aneka Citra bertempat di Gedung Dewan Pers. Buku itu disunting oleh Tribuana Said dan diterbitkan atas insiatif Jakob Oetama.

Dengan tiada saya duga Romo Mangun mengambil waktu menulis sepucuk surat kepada saya dari Yogyakarta, Jl AM Sangaji 20. Dia memulai suratnya dengan menulis:

Saudara Rosihan Anwar tersayang! Dengan hormat, dari bepergian jauh saya terlambat membaca di Kompas tentang HUT Anda 70 tahun. Luar biasa! Beter te laat dan nooit. Maka dengan gembira saya ucapkan Selamat Berulang Tahun 70 tahun.

Tanggal 10 Mei adalah hari Jerman invasi ke Nederland, awal kerontokan Nederlandsch Indie. Dan Anda aktif partisipasi dalam Revolusi dulu, di garis terdepan maupun belakang. Berbahagialah Anda memperoleh kesempatan sangat berharga itu dari Tuhan.

Walaupun demokrasi dan cita-cita kerakyatan yang Anda rintis itu kini berantakan sehingga pola-pola Nederlandsch Indie kembali lagi dihidupkan oleh generasi yang "sedang lupa", namun jasa-jasa saudara tidak akan percuma. Buku-buku memoar Anda selalu saya baca. Saya masih menunggu tulisan-tulisan dan memoar Anda dengan penuh harapan. Semoga damai, rahmat serta berkat Allah selalu menaungi Anda & keluarga Anda. Wassalam, YB Mangunwijaya.

***

DI SAMPING surat tadi dikirimnya pula sebuah kartu yang ditulisnya tanggal 10 Mei 1992, tepat pada HUT ke-70 saya. Romo Mangun mengatakan:

Ketika saya masih teenager ingusan saya sudah membaca karya-karya jurnalistik Anda sewaktu Revolusi. Berkat perintisan Anda kini saya coba-coba berjurnalistik pula. Puisi ini saya sampaikan selaku ucapan selamat usia 70 tahun. Semoga Rahmatullah selalu menaungi saudara Rosihan Anwar.

Saudara wartawan setiawan dan pejuang ulet yang menjadi suri teladan kami. Allah Yang Mahabaik adalah Pahala Sejati Saudara. Segala suka namun terutama duka derita Anda telah dan akan bertunas terus ke dalam kami para penulis pendatang baru. Semoga sang istri dan Keluarga Besar Rosihan Anwar selalu terberkati.

Adapun sajak dalam bahasa Inggris dilampirkannya sebagai berikut.
A Kind Of Loving
I sing songs for people I can't have
people I meet once and will never see again.
It is for me a kind of loving.
A kind of loving, for me.
I make words for people I've not met
those who will not turn to follow after me.
It is for me a kind of loving.
A kind of loving, for me.
Rod Mekuen.
Ikut menyanyi: YB Mangunwijaya.

Saya ceritakan di sini semua ini bukan karena mengenai urusan ego saya, bukan karena saya narsisus - mencintai diri sendiri secara berlebihan - seperti kata seorang ilmuwan Indonesia yang belajar di Jerman, melainkan karena hendak menggambarkan betapa agungnya kedermawanan dan kebaikan hati Romo Mangun. Romo Mangun, beristirahatlah dalam kedamaian. R.I.P.

(H Rosihan Anwar, wartawan)


Thursday, February 26, 2004

BIODATA 


BIODATA

Yusuf Bilyarta Mangunwijaya,

Lahir: 6 Mei 1929 di Ambarawa.
Orang-tua: keduanya guru SD/TK.

Pendidikan dan Pekerjaan

1945-1946 : Prajurit TKR Batalyon X Divisi III Yogyakarta.
1946-1949 : Komandan Seksi Kompi Kedu, Tentara Pelajar Brigade XVII.
1959 : Institut Filsafat clan Teologi Sancti Pauli, Yogyakarta.
1966 : Sekolah Teknik Tinggi Rhein-Westfalen, Aachen, Republik Federasi Jerman.
1968-1980 :. Dosen Sejarah Kebudayaan dan Kritik Arsitektur, Universitas Gadjah Mada.
1978 : Fellow of Aspen Institute for Humanistic Studies, Aspen, Colorado, USA.
1980-1986 : Pekerja sosial kampung kumuh tepi Jembatan Gondolayu, Sungai Code, Yogyakarta.
1987-1999 : Pekerja sosial petani di Gunungkidul.


Sejak 1968 : Kolumnis Indonesia Raya, Kompas, Kedaulatan Rakyat. Okasional di majalah-majalah Prisma, Tempo, dan lain-lainnya.

Buku-buku Nonfiksi

1975. Ragawidya. Renungan fenomenologis religius tentang kehidupan sehari-hari. Penerbit Kanisius, Cetakan ke-2 tahun 1987.
1978. Puntung-puntung Roro Mendut. Kumpulan esei di Harian Kompas 73-77. Penerbit Gramedia.
1980. Penghantar Fisika Bangunan. Penerbit Gramedia, Cetakan ke-2 tahun 1984.
1982. Sastra dan Religiositas: Hadiah pertama Dewan Kesenian Jakarta kategori esei 1982. Cetakan ke-1 oleh Penerbit Sinar Harapan, Cetakan ke-2 oleh Penerbit Kanisius 1988.
1982. Panca Pramana. Praksis Penggembalaan Jemaat. Penerbit Kanisius.
1983. Teknologi dan Dampak Kebudayaannya. (Editor) Jilid I. Penerbit Obor Indonesia.
1985. Teknologi dan Dampak Kebudayaannya. (Editor) Jilid II. Penerbit Obor Indonesia.
1986. Menumbuhkan Sikap Religius Anak-anak. Penerbit Gramedia.
1987. Putri Duyung yang Mendamba. Renungan filsafat hidup manusia modern. Penerbit Obor Indonesia.
1987. Di Bawah Bayangan Adikuasa. Esei-esei perjalanan kultural Indonesia dan dunia. Penerbit Grafiti Pers.
1987. Esei-esei Orang Republik. Esei-esei politis perjalanan bangsa Indonesia. Penerbit Misurind.
1988. Wastucitra. Pengantar estetika arsitektural. Penerbit Gramedia.

Buku-buku Novel

1981. Romo Rahardi. Novel psikologi keragu-raguan eksistensial. Penerbit Pustaka Jaya. Cetakan ke-2 tahun 1985.
1981. Burung-burung Manyar. Novel Revolusi Indonesia. Penerbit Djambatan. Cetakan ke-4. Memenangkan South East Asia Write Award 1983 dianugerahkan oleh Queen Sirikit of Thailand. Terjemahan bahasa Jepang tahun 1986, bahasa Belanda tahun 1987, dan persiapan terjemahan dalam bahasa Inggris.
1983. Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa. Novel sejarah Maluku, Halmahera, Ternate abad ke-17. Cetakan ke-1 Sinar Harapan. Cetakan ke-2 Djambatan tahun 1987. Persiapan terjemahan bahasa Jepang dan Belanda.
1983-1987 Roro Mendut * Genduk Duku * Lusi Lindri. Trilogi roman sejarah akhir zaman Sultan Agung sampai jatuhnya Sri Susuhunan Mangkurat I (cerbung Kompas dan dibukukan oleh Penerbit Gramedia).
1985 Balada Becak. Fantasi humor. Penerbit Balai Pustaka.
1991 Durga Umayi. Novel epik simbolik bangsa Indonesia.
1993 Burung-burung Rantau. Novel ide-ide gagasan manusia pascanasionalis.

Tuesday, February 17, 2004

mangunan 

mangunan
mangunan
mangunan


This page is powered by Blogger. Isn't yours?